Sate Bandeng
Pembuatan sate bandeng, pada dasarnya merupakan salah satu produk diversifikasi pangan perikanan tradisional yang mempunyai nilai dan kualitas cukup baik, baik dari segi gizi, fungsi, maupun ekonomis. Tujuan dari pengolahan sate bandeng ini selain memberikan alternatif variasi pangan bagi konsumen, meningkatkan nilai gizi dan daya awet bahan baku.
Pengadaan dan Penyiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan pada pembuatan sate bandeng milik Bapak Cepi Awaludin terdiri atas ikan bandeng segar dan santan kental :
1. Ikan Bandeng
Ikan bandeng yang digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan sate bandeng adalah bandeng segar, menurut Murniyati dan Sunarman (2000) ciri - ciri umum ikan yang masih segar adalah ikan tampak cerah, terang, permukaan kulitnya tidak berlendir dan mengkilat, mulut terkatup, insang berwarna merah cerah, sisik tampak cerah, melekat kuat bila dipegang; daging kenyal dan elastis; dan masih berbau segar. Ditambahkan oleh Purnomowati, dkk (2007) cara yang paling mudah untuk mengetahui ikan bandeng yang masih segar adalah jika dimasukkan kedalam air, akan tenggelam.
Ikan bandeng yang digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan sate bandeng adalah ikan bandeng dengan ukuran 1 kg yang berisikan 4 atau 5 ekor, dengan panjang perekor sekitar 22 cm ± 1,52. Ikan bandeng yang dipilih merupakan ikan air payau dan berasal dari daerah Serang, ikan bandeng air payau dan berasal dari daerah Serang rasanya cenderung lebih gurih jika diolah menjadi sate bandeng dibandingkan ikan bandeng air tawar atau dari daerah lain. Hal ini dikarenakan ikan bandeng yang berasal dari air payau kadar garamnya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan bandeng air tawar, serta ikan yang didapat dari daerah Serang memiliki kualitas yang baik karena masih dalam kondisi basah (baru ditangkap) jika dibandingkan dengan ikan bandeng dari daerah lainnya. Bahan baku ikan bandeng segar yang dibutuhkan dalam 1 kali proses produksi adalah sebanyak 12 kg atau sekitar 50 ekor ikan bandeng.
2. Santan Kental
Santan kental merupakan salah satu bahan baku terpenting didalam usaha pembuatan sate bandeng, hal ini dikarenakan santan adalah bahan pengisi adonan yang menjadi ciri khas sate bandeng. Santan adalah suatu cairan yang diperoleh dengan cara pengepresan parutan kelapa dengan atau tanpa penggunaan air. Di samping itu, santan segar secara alamiah mudah sekali rusak, dan hanya bertahan selama 24 jam. Tingginya kandungan air, protein dan lemak merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba (Koeswara, 2008).
Bahan baku santan yang digunakan pada usaha pegolahan sate bandeng adalah kelapa yang sudah diparut sebanyak 45 buah yang didapatkan dari pasar Rau – Serang. Kelapa parut ini kemudian di buat menjadi santan dengan cara menambahkan air, dengan perbandingan daging kelapa parut : air (2:1). Dalam proses pembuatan santan ini sisa pemerasan tidak langsung dibuang tetapi digunakan kembali untuk dijadikan santan dengan ditambahkan kedalam parutan kelapa yang baru, proses pemerasan santan ini dilakukan dengan menggunakan kain sebagai alat pemeras.
Santan yang telah diperas kemudian direbus selama 1 jam, hingga terbentuk santan kental pada bagian atas permukaan rebusan santan. Santan kental ini kemudian dipisahkan antara cairan dengan padatan (santan kental yang terbentuk pada permukaan), proses pemisahan ini dilakukan dengan menggunakan selang. Setelah itu santan kental kemudian diletakkan di atas nampan pelastik untuk didinginkan beberapa saat hingga uap panasnya hilang dan membentuk bubur santan
3. Pengadaan dan Penyiapan Bahan Tambahan
Bahan tambahan yang digunakan dalam proses pembuatan sate bandeng di UD. Awal Putra Mandiri adalah bawang merah, ketumbar, cabai rawit, gula putih, gula merah, minyak goreng, dan air.
Bawang Merah (Allium ascalonicum L)
Bawang merah yang dibutuhkan dalam satu kali proses produksi sate bandeng adalah sebesar 25 g. Bawang merah yang digunakan ialah bawang merah yang sudah dirajang dan disangrai. bawang merah yang sudah dirajang dan disangrai memiliki rasa dan bau yang khas, hal ini dikarenakan bawang merah memiliki senyawa volatil (senyawa penghasil flavor) diallil disulfida dan diallil sulfida yang menghasilkan rasa tajam (pungency) dan dapat merangsang membran mukosa yang berada di mulut maupun dihidung (Putri dan Febrianto, 2006). Adapun kandungan gizi bawang merah adalah air 89,68 g; protein 1,16 g; lemak 0,16 g; karbohidrat 8,63 g; Besi, 0.22 mg; Sodium, Na, 3 mg (Anonymous, 2008b).
Ketumbar (Coriandrum sativum)
Ketumbar yang dibutuhkan dalam proses pembuatan sate bandeng adalah sebanyak 30 g. Ketumbar yang digunakan adalah ketumbar yang sudah disangrai dan dihaluskan, fungsi disangrai dan dihaluskan agar ketumbar mudah tercampur merata dengan adonan dan menciptakan bau yang khas pada sate bandeng. Menurut Putri dan Febrianto (2006) aplikasi ketumbar pada bahan makanan digunakan untuk meningkatkan flavor dan rasa produk tertentu khususnya daging dan ikan. Hal ini dikarenakan adanya senyawa kimia yang terkandung pada ketumbar diantaranya saponin, flavonoid, tanin.
Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)
Pada proses pembuatan sate bandeng, cabai rawit tidak selalu digunakan dan digunakan apabila pemesan meminta agar sate bandeng mempunyai rasa yang pedas. Biasanya cabai yang digunakan untuk membuat sate bandeng adalah cabai rawit halus sebanyak 10 buah. Kandungan zat gizi per 100 gram cabai rawit yaitu protein 4,7 g, lemak 2,4 g, karbohidrat 19,9 g, kalsium 45 mg, fosfor 85 g, besi 2,5 g, vitamin A 11.050 SI, vitamin B1 0,24 mg, vitamin C 70 mg dan air 71,2 g (Direktorat Gizi, 1992).
Gula Putih
Gula putih yang digunakan dalam satu kali proses produksi pembuatan sate bandeng adalah sebanyak 0,5 kg. Fungsi penggunaan gula putih bertujuan sebagai zat pemanis. Senyawa pemanis ini dihasilkan senyawa sakrosa murni yang didapat dari dari gula tebu atau gula bit (Saparinto dan Hidayat, 2004).
Gula Merah
Gula merah yang digunakan dalam proses pembuatan sate bandeng ini adalah sebanyak 100 g, fungsi penggunanaan gula merah dalam pembuatan sate bandeng ini adalah sebagai bahan pemanis dan juga sebagai pemberi warna karamel (kecoklatan) pada sate bandeng yang dihasilkan. Menurut Hambali, dkk., (2002) gula mempunyai rasa yang manis dan sedikit asam yang disebabkan oleh kandungan asam-asam organik didalamnya.
Garam
Garam yang digunakan dalam proses pembuatan sate bandeng ini adalah sebanyak ± 20 g. Fungsi garam selain berfungsi sebagai flavour juga dapat berfungsi sebagai pengawet. Menurut Saparinto dan Hidayati (2004) garam dapat bertindak sebagai pengawet karena kemampuannya menurunkan kandungan air pada bahan pangan.
Minyak Goreng
Minyak dapat digunakan sebagai medium untuk menggoreng bahan pangan. Dalam penggorengan minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan (Ketaren, 1986).
Minyak goreng yang dibutuhkan dalam proses pembuatan sate bandeng sebanyak 0,5 liter. Minyak goreng ini digunakan untuk mengsangrai bawang merah dan juga ketumbar.
Air
Air merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan untuk kehidupan manusia, karena air digunakan untuk berbagai macam kegiatan seperti minum, pertanian, industri, peternakan dan perikanan. Dalam industri pengolahan pangan, air merupakan bahan yang penting dalam berbagai kegiatan baik untuk sanitasi, medium penghantar panas maupun pengolahan. Air yang berhubungan dengan hasil industri pengolahan pangan harus memenuhi setidak-tidaknya standar mutu yang dibutuhkan untuk minum atau air minum (Buckle, dkk., 1987).
4. Pencucian
Pencucian bahan baku dan bahan tambahan ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran sebagai sumber kontaminasi yang menempel pada bahan. Air yang digunakan pada proses pencucian berasal dari air PDAM yang dialirkan lewat selang dan ditampung dalam ember untuk mempermudah pencucian. Namun apabila air PDAM tidak mengalir, maka air yang digunakan untuk mecuci bahan berasal dari air sumur.
Pada proses pencucian bahan baku ikan dilakukan dengan tidak menggunakan air yang mengalir, tetapi dengan menaruh ikan didalam ember yang yang berisikan air, lalu dibilas hingga bersih. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) pencucian seharusnya dilakukan di air yang mengalir agar lendir, darah, maupun kotoran yang lain benar - benar hilang.
5. Penyiangan Ikan Bandeng
Ikan bandeng yang sudah dicuci kemudian disiangi, menurut Moeljanto (1992), penyiangan adalah memisahkan atau mengilangkan isi perut dan insang dari badan ikan. Isi perut dan insang yang terdapat pada ikan diletakkan terpisah dengan ikan yang belum disiangi, untuk menghindari kontaminasi, karena isi perut dan insang merupakan sumber mikroorganisme.
Proses penyiangan dilakukan dengan mengunakan pisau kecil untuk menghilangkan sisik yang melekat pada tubuh ikan bandeng, kemudian dilanjutkan dengan pengeluaran isi perut dengan menariknya melalui operculum. Ikan bandeng yang sudah disiangi kemudian diletakkan didalam bak pelastik yang berisikan air.
6. Pengeluaran Daging dari dalam Tubuh Ikan
Pengeluaran daging ikan bandeng dari dalam tubuh ikan, bertujuan untuk membuat adonan isi sate bandeng yang nantinya adonan ini akan diisi kembali kedalam tubuh ikan bandeng. Proses pengeluaran daging ikan bandeng diawali dengan memukul bagian pangkal sirip dorsal ikan dengan benda keras untuk mematahkan tulang ikan, lalu dilanjutkan dengan memencet tubuh ikan dengan tangan agar daging lebih lentur dan mudah dikeluarkan dari dalam tubuh ikan.
Proses pengeluaran daging ikan bandeng dilakukan dengan cara mendorong tubuh ikan dari bagian pangkal sirip dorsal menuju bagian operculum ikan, ketika tulang ikan sudah mulai keluar dari operculum maka tulang ikan ditarik terlebih dahulu keluar agar tidak menggagu proses pengeluaran daging ikan dan pada saat penarikan tulang ikan keluar dilakukan secara hati-hati agar tubuh ikan tidak rusak. Setelah tulang ikan keluar, maka daging ikan dapat dengan mudah untuk dikeluarkan dari lubang operculum.
7. Pemisahan Duri Halus dari Daging Ikan
Pada proses pengeluaran daging ikan dari dalam tubuh, tentunya masih banyak meninggalkan duri-duri halus yang menempel pada daging ikan dan apabila duri ini tidak dipisahkan akan dapat mengganggu konsumen dan mengurangi kualitas sate bandeng yang dihasilkan.
Proses pemisahan duri halus dari daging ikan dilakukan dengan cara meletakkan daging ikan diatas loyang pelastik, kemudian daging ikan ditekan sambil digerakkan maju-mundur menggunakan ayakan logam (alat pemisa duri yang bentuknya mirip dengan ayakan santan dan memiliki lubang yang lebih besar), hingga daging ikan menjadi halus dan masuk kedalam ayakan logam, sedangkan duri-duri halus akan terpisah dan tertinggal didalam nampan pelastik. 8. Peracikan Bumbu dan Pembuatan Adonan
Bumbu - bumbu yang digunakan dalam proses pembuatan sate bandeng seperti bawang merah goreng, cabai rawit, ketumbar halus, gula merah, gula putih dan garam, terlebih dahulu di campurkan kedalam adonan daging agar bumbu-bumbu tersebut bisa meresap dan tercampur dengan daging ikan, setelah itu barulah santan rebus kental yang sudah didinginkan dimasukan sedikit demi sedit kedalam adonan sambil terus di aduk agar didapat campuran adonan yang merata.
Menurut Fellow (2000) proses pencampuran bahan (bumbu-bumbu dan juga santan) ini tidak bertujuan sebagai pengawet saja tetapi semata - mata bertujuan untuk membantu di dalam proses merubah kualitas makanan, pada aplikasi yang lebih luas pencampuran atau kombinasi bahan bertujuan memperkaya karakteristik sensori. Ditambahkan oleh Desrosier, (1988), pencampuran menyebabkan lebih banyak ikatan molekuler yang putus dan adonan bersifat lunak dan lekat.
Pada proses pembuatan adonan ini, juga ditambahkan air yang berfungsi untuk melarutkan dan membantu di dalam proses penghomogenan adonan. Menurut Winarno (2002) air berfungsi sebagai bahan makanan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada dalam bahan makanan, serta pada beberapa bahan makanan malah berfungsi sebagai pelarut
8. Pengisian Adonan dan Penjepitan Sate Bandeng
Pengisian adonan kedalam tubuh (selongsong kulit) ikan dilakukan dengan memasukkan adonan melalui lubang operkulum. Pengisian adonan kedalam tubuh ikan dilakukan tanpa menggunakan alat melainkan hanya dengan menggunakan tangan dan dilakukan secara berlahan-lahan hingga adonan terisi semua dan membentuk tubuh ikan bandeng.
Tubuh ikan bandeng yang sudah terisi adonan kemudian dijepit dengan menggunakan ranggap (penjepit bambu), proses penjepitan sate bandeng ini dilakukan dengan cara menjepitkan tubuh ikan badeng diantara ranggap dengan salah satu sisi ranggap masuk kedalam operculum dan menembus mulut ikan, agar hasil proses penjepitan ranggap ini tidak lepas saat proses pembakaran, maka diantara kedua ujung ranggap ditusuk dengan pelepa pisang.
9. Proses Pembakaran Sate Bandeng
Proses pembakaran yang dilakukan pada pembuatan sate bandeng ini dilakukan sebanyak dua kali, dimana proses pembakaran pertama yaitu untuk mematangkan adonan yang ada di dalam tubuh sate bandeng dan pembakaran kedua bertujuan untuk mematangkan sisa adonan yang dilumurkan diluar tubuh ikan. Proses pembakaran sate bandeng dilakukan di tungku pembakaran dengan sumber pemanas berasal dari bara api. Proses pembakaran diatas bara api dilakukan hingga sate matang. Sate bandeng yang sudah matang biasanya ditandai dengan adanya perubahan warna coklat kehitaman (efek pembakaran) pada permukaan tubuh ikan, menurut Winarno (2002) warna coklat pada proses pembuatan sate dan proses pemanggangan diakibatkan adanya reaksi maillard atau reaksi pencoklatan, hal ini karena reaksi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer pada protein.
Gula pereduksi yang berperan dalam reaksi maillard adalah glukosa, fuktosa, maltosa, laktosa dan sebagian kecil pentosa reduksi. Pigmen warna coklat pada reaksi maillard, dihasilkan oleh senyawa melanoidins yang mengandung sejumlah nitrogen dan dengan berat bermacam-macam serta larut dalam air. (Belitz dan Grosch, 1999)
Sate bandeng yang sudah matang, kemudian di lapisi kembali dengan sisa adonan hingga menutupi seluruh permukaan tubuh ikan dan dibakar lagi diatas bara api pada suhu diatas 100o C hingga matang yang ditandai dengan perubahan warna pada sate bandeng menjadi kecoklatan. Menurut Fellow, (2000) tujuan dari proses pembakaran adalah untuk merubah penampilan makanan, meningkatkan tingkat penerimaan dan memperlebar jarak rasa aroma dan tekstur makanan berlemak. Selain ditambahkan oleh Long (2006) makanan yang dipanggang atau dibakar hingga hangus akan dapat menimbulkan zat carcinogen pada bahan pangan.
Proses pelapisan adonan pada pembuatan sate bandeng ini dilakukan sebanyak 2 hingga 3 kali hingga sisa adonan habis, pada setiap proses pelapisan adonan langsung diikuti dengan proses pematangan sate bandeng hal ini dilakukan agar sate bandeng yang dihasilkan benar-benar matang. Sate bandeng yang sudah matang kemudian dipotong ranggap (penjepit) satenya seukuran panjang tubuh ikan bandeng agar sate bandeng mudah untuk dikemas.
10. Pengemasan
Kemasan adalah suatu wadah yang digunakan untuk mengemas suatu produk, yang telah dilengkapi dengan tulisan, label, dan keterangan lain yang menjelaskan isi, kegunaan dan juga mempunyai peranan penting didalam pengawetan bahan pangan (Susanto dan Sucipta, 1994).
Pengemasan yang dilakukan di usaha pembuatan sate bandeng ini ialah dengan menggunakan daun pisang dan juga pelastik jenis polypropylene. Penggunaan daun pisang ini berfungsi untuk menghindari sate bandeng bersentuhan langsung dengan pelastik serta bertujuan untuk mempertahankan aroma dari sate bandeng. Menurut Ghozali, dkk (2004) Sate Bandeng dikemas dengan menggunakan daun pisang adalah untuk mempertahankan aromanya.